JANJI
Panggung menggambarkan tempat di pinggir jalan pada siang hari yang
lengang. Di latar belakang tampak pepohonan yang cukup rimbun.
Yanti
: (Muncul
dengan membawa buku, berjalan akan pulang, tetapi bertemu Herman dan keduanya
saling menyapa).
Herman : (Menegur lebih dulu) “Heh,
cari barang rongsokan ya?”
Yanti : (Terkejut) “Ah, kamu Herman,
jadi terkejut aku.”
Herman : “Jalan kok menunduk saja, sedang mencari
barang-barang bekas?”
Yanti : “Ah, ada-ada saja kamu. Masak iya jalanku
seperti orang mencari barangbarang
bekas. Kalau begitu, tolong
Her, ambilkan keranjang untuk
rongsokan. (Ketawa riang)
Hihi…”
Herman : (Berlagak akan mengambil). “Baik,
Nona.”
Yanti : “Her, Her, mau ke mana?”
Herman : “Lho, kok,
ditanya, ambil keranjang, kan?”
Yanti : “Her, jangan
begitu, aku main-main saja, kok.”
Herman : (Diam,
pura-pura tersinggung)
Yanti : (Mendekat
pelan) “Herman, aku main-main saja, lo. Kau marah?”
Herman : (Masih
pura-pura) “Tidak, aku tidak marah. Hanya…”
Yanti : (Ingin
tahu) “Apa Her? Katakan. Apakah aku bicara tidak sopan tadi?”
Herman : “Tidak. Hanya
saja kamu….”
Yanti : (Semakin
ingin tahu) “Herman, katakan saja apa yang kamu maksud.
Biar aku
dapat memperbaiki kekuranganku. Atau, aku harus minta maaf kepadamu, Her?”
Herman : “Tidak. Kamu
tidak usah minta maaf kepadaku. Kamu tidak bersalah. Hanya….”
Yanti : (Kesal dan
takut) “Aku semakin tidak mengerti dan bingung.”
Herman (Semakin menggoda) “Kamu tidak
mengerti, Yanti?”
Yanti : (Seolah
akan menangis) “Herman, kalau kamu masih menggodaku dan aku bersalah,
…baiklah, aku pulang saja. Aku malu, Her.”
Herman : (Maksud
menggoda jadi pudar) “Yanti, aku…, hahaaa…”
Yanti : (Melihat
keanehan)
Herman : (Mendekat)
“Yanti, aku sebenarnya mencoba ketabahanmu.”
Yanti : (Sadar
kalau digoda) “Aku kira… kamu marah padaku.”
Herman : “Buat apa marah
tanpa sebab, Yanti? Aku bukan pemuda yang mudah naik darah…hahaa….”
Yanti : “Kau dari
mana? Pulang sekolah?”
Herman : “Tidak, dari
menyelesaikan pekerjaan rumah orang.”
Yanti : “Di rumah orang?
(Keheranan) Maksudmu?”
Herman : “Ayo, coba terka,
Ti.”
Yanti : (Menjawab)
“Kau menggoda lagi ya.”
Herman : “Hahaaa, eee,
yang ini tidak, Ti. Aku ingin tahu kemampuanmu menerka teka-teki ini. Cobalah
kalau dapat. Hadiahnya besar.”
Yanti : “Enggak mau,
Her. Aku takut salah lagi. Kamu saja yang menjawab.”
Herman : (Senyum)
“Baiklah, begini Yanti, aku sudah lama mencoba membantu ayahku mencari rezeki.
Yaaa…, sambil belajar untuk hidup mandiri kelak.”
Yanti : “Yang kamu
maksud itu, kamu sudah bekerja sambilan untuk membantu kebutuhan hidup
keluargamu?”
Herman : “Yaaah, begitulah
kurang lebihnya. Hanya saja tidak tetap. Sekali waktu kalau ada kesempatan,
seperti kalau tidak ada ulangan atau tidak ada PR.”
Yanti : “Kalau begitu,
tentunya kamu sibuk sekali, Her.”
Herman : “Bukan hanya
sibuk, malah aku sering mbolos.”
Yanti : “Mbolos?
Apa tidak dimarahi Pak Guru?”
Herman : “Semua ini karena
terpaksa untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Siapa lagi kalau bukan aku. Ayahku
menghidupi tujuh orang, termasuk aku.”
Yanti : “Ooooh, kamu
masih punya adik empat, Her. Alangkah bahagianya kamu.”
Herman : “Memang,
kelihatannya, keluarga kami bahagia.”
Yanti : “Kalau sering mbolos,
apa tidak terganggu belajarmu?”
Herman : “Sering
meninggalkan pelajaran, memang terganggu. Aku sering mendapat teguran.
Alhamdulillah, ayahku dapat menjelaskan, dan Bapak Kepala Sekolah dapat
memahaminya.”
Yanti : “Tak kusangka,
pengorbananmu demikian besar, Her. Tentunya orang tuamu amat bangga punya anak
laki-laki seperti kamu.”
Herman : “Apa yang
kulakukan atas kemauanku sendiri, tanpa paksaan dari siapa saja. Ayahku
sebenarnya tidak pernah mengizinkan aku membantu mencari nafkah.”
Yanti : “Herman,
ngomong-ngomong apakah kamu bersedia membantu aku?”
Herman : (Terkejut)
“Eeee, apa yang kamu maksud, Ti?”
Yanti : (Ragu-ragu)
“Eeee, kalau tidak ada waktu, tak apalah, besok-besok saja.”
Herman : “Lho, dapat.
Dapat, Ti. Cuma, kalau bantuan yang kamu maksud itu… ” (Ragu-ragu akan
meneruskan)
Yanti : (Menjawab
datar) “Masak bahan ulangan saja nggak ada waktu.”
Herman : (Terkejut)
“Haa, bahan ulangan? Aku kira nonton film.”
Yanti : (Heran)
“Nonton film, yang ngajak nonton kamu siapa?”
Herman : “Iya, iya…begini,
terus terang saja aku sangat hati-hati mengeluarkan uang yang tidak banyak manfaatnya.
Maka dari itu, permintaan bantuanmu tadi langsung kukira akan ngajak nonton
film.”
Yanti : “Gayamu, kau
kira aku apa? Aku bukan teman-temanmu itu.”
Herman : “Maaf, Ti aku
salah menafsir bicaramu.”
Yanti : (Ganti
salah tingkah) “Herman, aku kan tidak mengajakmu nonton. Jangan mengira
seenaknya. Sebenarnya aku tidak berencana minta bantuanmu, tapi karena
kebetulan bertemu, apa salahnya aku
menyampaikan
maksud baikku.”
Herman : (Nada
mengalah) “Iya, iya, aku sudah mengerti. Aku bersedia membantumu, belajar
bersama.”
Yanti : “Bersama,
bersama? Kau kira aku pacarmu, ya?” (Berlagak berlalu)
Herman : “Yanti, aku kan
sudah minta maaf atas kesalahanku, masa masih saja dianggap salah. Aku kan
temanmu.”
Yanti : (Hatinya
luluh) “Jadi, kau ngaku salah, ya. Ingat baik-baik, aku bukan
pacarmu, Her. Aku hanya temanmu. Aku bukan perempuan bebas, bukan gadis yang
suka pesta dan mau enak sendiri.”
Herman : “Iya, iya. Sudah
jelas semuanya. Aku hanya akan membantumu belajar, dan….”
Yanti : “Dan apa lagi.
Minta upah ya…?”
Herman : (Rasa takut)
“Di rumahmu? Aku takut, Ti.”
Yanti : “Takut,
mengapa? Ooo, iya, rumahku jelek. Ya sudahlah….” (Berlalu)
Herman : “Heee, tunggu
dulu. Kamu ini bagaimana? Kok mudah ngambek. Maksud saya di sekolah
atau di perpustakaan, karena aku takut ayahmu.”
Yanti : (Tertawa
senang) “Hi..hi..hi, Herman, kamu ini pemuda apa? Bertemu ke rumah orang
kok takut. Mau jadi banci, ya. Hi..hi..hiii.”
Herman : “Bukan begitu.
Aku kan belum pernah bertemu dengan ayahmu. Yang aku kenal baru ibumu.”
Yanti : “Kau ke
rumahku karena aku yang minta. Mengapa kau akan mundur menemui halangan?”
Herman : “Oke, asal kamu
yang menanggung risikonya, aku akan datang ke rumahmu. Tapi, aku hanya membantu
kamu dalam belajar, lho.”
Yanti : “Habis, mau
apa lagi?”
Herman : “Stop, stop. Jadi
rame nanti. Sudah siang, mari kita pulang.”
Yanti : (Melihat
sekeliling) “Wah, iya Her, sampai lupa aku. Ibuku jangan-jangan marah
kalau aku pulang terlambat. Baiklah kalau begitu. Jangan lupa Her, ke rumahku
nanti sore, ya?”
Herman : (Masih ragu)
“Yanti, bagaimana kalau besok saja.”
Yanti : “Her, kau mau
datang sendirian ke rumahku? Pemuda kok pemalu.”
Herman : “Iya, Ti. Aku tak
biasa bertamu ke rumah anak perempuan.”
Yanti : (Teringat
sesuatu) “Ooh iya, kebetulan, nanti sore aku disuruh ibuku mengantarkan
barang ke rumah Bulik. Nah, kau menunggu di sini. Nanti setelah dari rumah
Bulik, aku lewat sini, lalu kita bersama ke rumahku.
Setuju,
Her?”
Herman : (Berpikir-pikir)
“Bolehlah. Pokoknya, kamu yang menanggung risikonya.”
Yanti : (Tertawa
senang) “Herman, ayahku orangnya baik sekali. Kamu tentu tak akan diterima
dengan muka cemberut. Sampai nanti, ya Her.”