1.
Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan
pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya
di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda.
2.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad
Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda
untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah
sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan
yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah
kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik
dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
3. Perkembangan awal
a. Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal
dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan
Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah
tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak
perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata
(prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran
Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam
agama Islam, pangeran
Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong
Witana pada tahun 1428 Masehi. yang
sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama
yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian
menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas Rara
Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas
tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh
gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal
negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya
diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
4. Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya,
maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab
atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat, khawatir
atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan
Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang
Pagarage), dia mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak
Trunojoyo yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut
berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa
melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu,
maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran
Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk
mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
a. Perpecahan I (1679)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan
Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra
Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon
pada tahun 1679. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, di mana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:
- Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
- Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi
Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat,
dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabonan(Paguron) yaitu
tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon,
suksesi kekuasaan sejak tahun 1679 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang
sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa,
maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
b. Terpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada
umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV
(1798-1803), di mana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu
Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung
oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda:
surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat
Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan
pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan,
cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu
penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.
Sementara takhta Sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin (1803-1811).
5. Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah
Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga
semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di
wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926,
di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan
dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100
Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926
No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah
Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan
Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif
masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan
bupati.
6. Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia,
Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan
pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap
menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah
Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara
dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai
istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton
tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan
Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan
Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah
terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad
Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan
Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di
kalangan kerabat keraton tersebut.
No comments:
Post a Comment