Wednesday 2 March 2016

TEKS DRAMA "JANJI"



JANJI
Panggung menggambarkan tempat di pinggir jalan pada siang hari yang lengang. Di latar belakang tampak pepohonan yang cukup rimbun.
Yanti      : (Muncul dengan membawa buku, berjalan akan pulang, tetapi bertemu Herman dan keduanya saling menyapa).
Herman  : (Menegur lebih dulu) “Heh, cari barang rongsokan ya?”
Yanti      : (Terkejut) “Ah, kamu Herman, jadi terkejut aku.”
Herman : “Jalan kok menunduk saja, sedang mencari barang-barang bekas?”
Yanti      : “Ah, ada-ada saja kamu. Masak iya jalanku seperti orang mencari barangbarang
bekas. Kalau begitu, tolong Her, ambilkan keranjang untuk
                 rongsokan. (Ketawa riang) Hihi…”
Herman : (Berlagak akan mengambil). “Baik, Nona.”
Yanti      : “Her, Her, mau ke mana?”
Herman : “Lho, kok, ditanya, ambil keranjang, kan?”
Yanti      : “Her, jangan begitu, aku main-main saja, kok.”
Herman  : (Diam, pura-pura tersinggung)
Yanti      : (Mendekat pelan) “Herman, aku main-main saja, lo. Kau marah?”
Herman : (Masih pura-pura) “Tidak, aku tidak marah. Hanya…”
Yanti      : (Ingin tahu) “Apa Her? Katakan. Apakah aku bicara tidak sopan tadi?”
Herman : “Tidak. Hanya saja kamu….”
Yanti      : (Semakin ingin tahu) “Herman, katakan saja apa yang kamu maksud.
                 Biar aku dapat memperbaiki kekuranganku. Atau, aku harus minta maaf kepadamu, Her?”
Herman : “Tidak. Kamu tidak usah minta maaf kepadaku. Kamu tidak bersalah. Hanya….”
Yanti      : (Kesal dan takut) “Aku semakin tidak mengerti dan bingung.”
Herman  (Semakin menggoda) “Kamu tidak mengerti, Yanti?”
Yanti      : (Seolah akan menangis) “Herman, kalau kamu masih menggodaku dan aku bersalah, …baiklah, aku pulang saja. Aku malu, Her.”
Herman : (Maksud menggoda jadi pudar) “Yanti, aku…, hahaaa…”
Yanti      : (Melihat keanehan)
Herman : (Mendekat) “Yanti, aku sebenarnya mencoba ketabahanmu.”
Yanti      : (Sadar kalau digoda) “Aku kira… kamu marah padaku.”
Herman : “Buat apa marah tanpa sebab, Yanti? Aku bukan pemuda yang mudah naik darah…hahaa….”
Yanti      : “Kau dari mana? Pulang sekolah?”
Herman : “Tidak, dari menyelesaikan pekerjaan rumah orang.”
Yanti      : “Di rumah orang? (Keheranan) Maksudmu?”
Herman : “Ayo, coba terka, Ti.”
Yanti      : (Menjawab) “Kau menggoda lagi ya.”
Herman : “Hahaaa, eee, yang ini tidak, Ti. Aku ingin tahu kemampuanmu menerka teka-teki ini. Cobalah kalau dapat. Hadiahnya besar.”
Yanti      : “Enggak mau, Her. Aku takut salah lagi. Kamu saja yang menjawab.”
Herman : (Senyum) “Baiklah, begini Yanti, aku sudah lama mencoba membantu ayahku mencari rezeki. Yaaa…, sambil belajar untuk hidup mandiri kelak.”
Yanti      : “Yang kamu maksud itu, kamu sudah bekerja sambilan untuk membantu kebutuhan hidup keluargamu?”
Herman : “Yaaah, begitulah kurang lebihnya. Hanya saja tidak tetap. Sekali waktu kalau ada kesempatan, seperti kalau tidak ada ulangan atau tidak ada PR.”
Yanti      : “Kalau begitu, tentunya kamu sibuk sekali, Her.”
Herman : “Bukan hanya sibuk, malah aku sering mbolos.”
Yanti      : “Mbolos? Apa tidak dimarahi Pak Guru?”
Herman : “Semua ini karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Siapa lagi kalau bukan aku. Ayahku menghidupi tujuh orang, termasuk aku.”
Yanti      : “Ooooh, kamu masih punya adik empat, Her. Alangkah bahagianya kamu.”
Herman : “Memang, kelihatannya, keluarga kami bahagia.”
Yanti      : “Kalau sering mbolos, apa tidak terganggu belajarmu?”
Herman : “Sering meninggalkan pelajaran, memang terganggu. Aku sering mendapat teguran. Alhamdulillah, ayahku dapat menjelaskan, dan Bapak Kepala Sekolah dapat memahaminya.”
Yanti      : “Tak kusangka, pengorbananmu demikian besar, Her. Tentunya orang tuamu amat bangga punya anak laki-laki seperti kamu.”
Herman : “Apa yang kulakukan atas kemauanku sendiri, tanpa paksaan dari siapa saja. Ayahku sebenarnya tidak pernah mengizinkan aku membantu mencari nafkah.”
Yanti      : “Herman, ngomong-ngomong apakah kamu bersedia membantu aku?”
Herman : (Terkejut) “Eeee, apa yang kamu maksud, Ti?”
Yanti      : (Ragu-ragu) “Eeee, kalau tidak ada waktu, tak apalah, besok-besok saja.”
Herman : “Lho, dapat. Dapat, Ti. Cuma, kalau bantuan yang kamu maksud itu… ” (Ragu-ragu akan meneruskan)
Yanti      : (Menjawab datar) “Masak bahan ulangan saja nggak ada waktu.”
Herman : (Terkejut) “Haa, bahan ulangan? Aku kira nonton film.”
Yanti      : (Heran) “Nonton film, yang ngajak nonton kamu siapa?”
Herman : “Iya, iya…begini, terus terang saja aku sangat hati-hati mengeluarkan uang yang tidak banyak manfaatnya. Maka dari itu, permintaan bantuanmu tadi langsung kukira akan ngajak nonton film.”
Yanti      : “Gayamu, kau kira aku apa? Aku bukan teman-temanmu itu.”
Herman : “Maaf, Ti aku salah menafsir bicaramu.”
Yanti      : (Ganti salah tingkah) “Herman, aku kan tidak mengajakmu nonton. Jangan mengira seenaknya. Sebenarnya aku tidak berencana minta bantuanmu, tapi karena kebetulan bertemu, apa salahnya aku
                 menyampaikan maksud baikku.”
Herman : (Nada mengalah) “Iya, iya, aku sudah mengerti. Aku bersedia membantumu, belajar bersama.”
Yanti      : “Bersama, bersama? Kau kira aku pacarmu, ya?” (Berlagak berlalu)
Herman : “Yanti, aku kan sudah minta maaf atas kesalahanku, masa masih saja dianggap salah. Aku kan temanmu.”
Yanti      : (Hatinya luluh) “Jadi, kau ngaku salah, ya. Ingat baik-baik, aku bukan pacarmu, Her. Aku hanya temanmu. Aku bukan perempuan bebas, bukan gadis yang suka pesta dan mau enak sendiri.”
Herman : “Iya, iya. Sudah jelas semuanya. Aku hanya akan membantumu belajar, dan….”
Yanti      : “Dan apa lagi. Minta upah ya…?”
Herman : (Rasa takut) “Di rumahmu? Aku takut, Ti.”
Yanti      : “Takut, mengapa? Ooo, iya, rumahku jelek. Ya sudahlah….” (Berlalu)
Herman : “Heee, tunggu dulu. Kamu ini bagaimana? Kok mudah ngambek. Maksud saya di sekolah atau di perpustakaan, karena aku takut ayahmu.”
Yanti      : (Tertawa senang) “Hi..hi..hi, Herman, kamu ini pemuda apa? Bertemu ke rumah orang kok takut. Mau jadi banci, ya. Hi..hi..hiii.”
Herman : “Bukan begitu. Aku kan belum pernah bertemu dengan ayahmu. Yang aku kenal baru ibumu.”
Yanti      : “Kau ke rumahku karena aku yang minta. Mengapa kau akan mundur menemui halangan?”
Herman : “Oke, asal kamu yang menanggung risikonya, aku akan datang ke rumahmu. Tapi, aku hanya membantu kamu dalam belajar, lho.”
Yanti      : “Habis, mau apa lagi?”
Herman : “Stop, stop. Jadi rame nanti. Sudah siang, mari kita pulang.”
Yanti      : (Melihat sekeliling) “Wah, iya Her, sampai lupa aku. Ibuku jangan-jangan marah kalau aku pulang terlambat. Baiklah kalau begitu. Jangan lupa Her, ke rumahku nanti sore, ya?”
Herman : (Masih ragu) “Yanti, bagaimana kalau besok saja.”
Yanti      : “Her, kau mau datang sendirian ke rumahku? Pemuda kok pemalu.”
Herman : “Iya, Ti. Aku tak biasa bertamu ke rumah anak perempuan.”
Yanti      : (Teringat sesuatu) “Ooh iya, kebetulan, nanti sore aku disuruh ibuku mengantarkan barang ke rumah Bulik. Nah, kau menunggu di sini. Nanti setelah dari rumah Bulik, aku lewat sini, lalu kita bersama ke rumahku.
               Setuju, Her?”
Herman : (Berpikir-pikir) “Bolehlah. Pokoknya, kamu yang menanggung risikonya.”
Yanti      : (Tertawa senang) “Herman, ayahku orangnya baik sekali. Kamu tentu tak akan diterima dengan muka cemberut. Sampai nanti, ya Her.”

2 comments: